BAB X
AGAMA DAN MASYARAKAT
Kaitan agama dengan masyarakat
banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan
figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang ati
dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi
dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama para tasauf.
Bukti-bukti itu sampai pada pendapat
bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Agama
yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan
sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana
pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu dengan
masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat
penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada
hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus akibat tidak
terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana
bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk.
Hal ini, pertama, disebabkan
oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman
dan responsive dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya
consensus atau tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma yang
bersumber dari agama yang telah memberikan arah dan makna bagi kehidupan
kelompok.
1. Fungsi Agama
Ada tiga aspek penting yang selalu
dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan,
sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena
sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga
timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah
lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama
dapat mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan
tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan
mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut
berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku,
bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan
dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang
bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat agama
sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama,
sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab
kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak
menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah, segala
sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga
memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar
dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia
hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan
kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua,
kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya
adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi
lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia
harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai
fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis memandang
agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian,
ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme
penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama terhadap
pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan
masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana
sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan
yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama
dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu
mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan
memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi agama dalam
pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang
bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral
itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat
duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu
ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai
sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh
dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum
untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai
tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan
upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa
hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu,
untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu.
Masalah fungsionalisme agama dapat
dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson (1984),
dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi keyakinan mengandug
perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan
teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan
komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan
seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia,
berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
c.Dimensi pengalaman memperhitungkan
fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang
benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung
dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan suatu
perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan dikaitkan
dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki
informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab
suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi dari komitmen
religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra
pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah
masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan
efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang
bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan
yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu
memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam
pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan sekularisasi
mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman
keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam
kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan
apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif
tanpa adanya kekerasan institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.
2. Pelembagaan Agama
Agama sangat universal, permanen,
dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit
memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama
adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan
struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan
pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan
dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil
atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat
diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham
(1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun
tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan
Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil,
terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama.
Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan
adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain.
Sifat-sifatnya:
- Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
- Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri
yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam
tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular
masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara
tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap
aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama
dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku
yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam
tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan
agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia
(transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah
keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak
rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab
sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar,
yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh
lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial,
merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia,
keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan
meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan
untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang
merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan
keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri
atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis
yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab
pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang
mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau
kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari
pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya
berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula
sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan
munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari
terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim
a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a,
Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada
peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan
terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya
diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada
kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan
Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di
suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah
diusir dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf
(singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu
dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam).
Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar
dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu
tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan
putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi
khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa
sebanyak tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan,
memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu,
dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa
dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah,
perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah
haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang
diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk
menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan
sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut.
Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal.
Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan
melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan disembelih oleh
Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan.
Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu
bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang
kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak
memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban tersebut, esensinya
adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting.
Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”, “keesaan”,
“ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh
secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri
organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi
sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan
pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi
inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu
mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum”
mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil
munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga
keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan),
dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya
terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat
organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah
akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi
perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi,
pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan
agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
Sumber :
Haryawantiyoko.Katuuk, Neltje F.MKDU Ilmu
Sosial Dasar.1996.Jakarta:Penerbit Gunadarma
http://karinarisaf.blogspot.com/2011/01/agama-dan-masyarakat.html
Agama, Konflik dan Masyarakat
Secara sosiologis, Masyarakat agama
adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam
hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan
kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk
agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas
dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama
dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir
kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara
perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada
ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini
kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan
kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial
bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai
masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan
tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama
dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba
memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang
kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Konflik yang ada dalam Agama dan
Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas
masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama
terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan,
kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil
saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan
berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di
masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan
terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti
Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi
Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral
masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi
menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia,
yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga
kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan
kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk
agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas
dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama
dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir
kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara
perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada
ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini
kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan
kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial
bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Sumber :
https://nathaniaseptavy.wordpress.com/tag/agama-konflik-dan-masyarakat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar