SIAPA sih yang gak kenal musik rap yang juga sering disebut musik
hip-hop? Zaman sekarang kalau ngomongin musik jenis ini kamu mungkin
akan langsung terbayang rapper-rapper yang sering kita dengar, misal
Puff Daddy atau Diddy, Kanye West, Nelly, 50 Cent, ataupun Eminem.
Mereka masing-masing memang memberikan sentuhan khas ke rap mereka, tapi
mereka sama sekali bukan pencipta atau pencetus jenis musik ini. Mereka
hanyalah cucu atau ba
hkan cicit dalam sejarah musik
rap. Ini karena asal muasal rap muncul sejak tahun 1970-an. [P Diddy
waktu itu masih anak-anak dan dikenal dengan nama aslinya, Sean Combs.
Apalagi si Eminem, dia masih bayi bernama Marshall Mathers dan jangankan
ngomong kasar—ngomong aja belum bisa kali!] Budaya hip-hop. Musik rap
adalah bagian dari gaya hidup hip-hop. Hip-hop adalah sub-kultur yang
mulai muncul di lingkungan anak-anak kulit hitam dan hispanic yang
tinggal di daerah Bronx di kota New York, Amerika Serikat. Budaya
hip-hop sering ditandai dengan pilihan pakaian, graffiti pada tembok,
dan gerakan dance mereka. Musik hip-hop punya ciri yang khas berupa beat
yang kuat dan dibumbui dengan lirik-lirik yang mengalir dengan enak
karena kata-katanya rhyming—kayak puisi. Satu hal yang menarik, pada
jaman itu, istilah “rapper” sendiri belum ada. Yang ada MC dan DJ.
[Sedikit beda dengan MC yang disewa kakakmu waktu dia bikin resepsi
kawinan tahun lalu], MC ini tugasnya ngomong diantara lagu-lagu yang
diputar DJ buat ngenalin judul lagu-lagu itu atau bikin
komentar-komentar lain yang bikin suasana tambah enak. Agar yang
dengerin gak keganggu dengan ocehan MC, si MC akan bikin ocehannya
mengalir dan menyatu dengan musiknya. Ini jadi salah satu cikal bakal
rapping yang kita kenal hari ini. Pengaruh Jamaica. Pengaruh cukup
besar terhadap musik rap zaman sekarang juga berasal dari akulturasi
[mudah-mudahan kata ini artinya pencampuran atau perkawinan] budaya
Amerika dan Jamaica. Jadi, ceritanya, orang Jamaica seneng banget dengan
music R&B yang dikenalkan tentara Amerika di Jamaica dan diputar
radio-radio di sana. Sering dibuat semacam tempat dansa dadakan
[Mendadak R&B?] dengan cara memasang sound-system yang cukup gede
buat didengar orang-orang di sekitaranya. Karena orang Jamaica pada
waktu itu gak bisa bikin musik R&B sebagus orang Amerika, biasanya
musik R&B yang dimainkan adalah rekaman dari musisi Amerika. Dan
agar ada unsur Jamaica-nya, selalu ada MC lokal (orang Jamaica) yang
nge-“toast” selama musik berjalan. Toasting itu pokoknya adalah
aktivitas ngoceh sambil musik jalan terus. Kadang yang di-oceh-kan itu
frasa-frasa atau kata-kata sederhana yang bisa bikin tambah semangat
orang-orang yang sedang joget, misal “move it, move it” atau “work it,
work it” [dan ini tentu dengan logat Jamaica yang berat dan seksi itu].
MC dan DJ mulai kreatif. Dengan beberapa pengaruh ini, ditambah
“penemuan-penemuan baru” yang muncul dalam teknik musik hip hop, jenis
musik ini semakin disukai oleh makin banyak orang. Kreativitas terus
berkembang. DJ mulai macem-macem ide, tingkah, dan tekniknya. Dengan
turntable ganda, DJ mulai menggunakan teknik-teknik breaking dimana
bagian-bagian lagu tertentu akan ditelanjangi sehingga hanya beat dasar
yang kedengar atau scratching dimana piringan hitam akan diputar maju
dan mundur secara cepat sehingga keluar bunyi yang khas, dan
teknik-teknik lain. Meningkatnya kemampuan DJ juga diiringi dengan
perkembangan yang pesat dari partner-nya, yaitu sang MC. MC semakin
kreatif dalam membuat cerita dan lirik-liriknya menjadi sebuah tontonan
tersendiri selain musik yang mengiringinya. Fokus mulai sedikit banyak
beralih pada MC itu sendiri. Remaja kulit hitam, hispanic, maupun
minoritas lainnya di Amerika mulai giat melatih kemampuan ngoceh dengan
cerita yang menarik dan dalam melodi yang enak didengar. Ocehan anak
satu akan nyambung dengan anak lainnya dan dan bahkan bisa saling
menjawab. Dari sini nanti berkembang pula yang disebut battle, yaitu adu
lirik—saling jawab, saling serang. [Imagine berbalas pantun without the
pakaian daerah!] Eniwei, setelah semakin banyak orang bikin musik jenis
ini, akhirnya sejarah mencatat rekaman musik rap pertama yang meledak
secara komersial dan mendapat perhatian serta pengakuan publik secara
luas. Kelompok yang membawakannya bernama Sugar Hill Gang dan lagunya
berjudul Rapper’s Delight. Bahkan kata “rapper” itupun dipopulerkan oleh
lagu ini. Orang mulai menyebut istilah rapper untuk menggantikan kata
MC. How would you like your rap, sir?—Munculnya berbagai jenis rap.
Seperti dalam genre musik lain, genre rap-pun mulai berkembang menjadi
beberapa “jenis” musik rap. Memang sepertinya nggak ada textbook yang
dengan jelas membagi jenis-jenis musik rap, tapi dari pengamatan
sehari-hari kita bisa lihat paling tidak ada beberapa jenis. Yang
mungkin paling sering kita dengar beritanya adalah gangsta rap (rap-nya
gangster gitu maksudnya). Kalau mau, baca juga boks yang cerita tentang
gangsta rap ini—West Coast vs. East Coast]. Selain karena jenis rap ini
emang populer, kita kadang lebih sering denger jenis rap ini karena para
rappernya juga sering bikin ulah sehingga berita tentang gangsta rap
ini menjadi semakin banyak muncul. Kamu mungkin kenal Tupac Shakur,
Notorious B.I.G., Snoop Dogg, dan lain sebagainya—mereka masuk kategori
gangster ini. Dulu P-Diddy dan Jay-Z kayaknya juga bisa dikatakan jelas
masuk ke kategori ini, tapi sekarang gak jelas juga. Lebih banyak ke
arah pop-rap kayaknya. Tema-tema mereka sudah bukan tentang hidup
gangster di jalanan melulu. Banyak rapper yang topik liriknya berubah
dengan perubahan-perubahan yang dia alami dalam kehidupan sehari-hari.
Manusiawi. Terus ada juga rap yang warna Jamaica-nya sedikit lebih
kental, dulu Wyclef Jean suka main jenis ini, tapi mungkin sekarang bisa
juga udah berubah. Terus ada party-rap, dulu Will Smith (waktu itu
masih tergabung dalam duo bernama DJ Jazzy Jazz and the Fresh Prince)
suka membawakan lagu yang tema-temanya pesta dan acara-acara lain yang
suasananya enak. Satu hal yang patut dicatat tentang Will Smith adalah
bahwa dia punya komitmen yang besar untuk tidak pakai kata-kata kasar —
atau orang bule biasa nyebut-nya sebagai four-letter-words — dan
temanya-pun selalu positif. Ada juga rapper yang akhir-akhir ini yang
semakin ngetop yang namanya Kanye West. Dia sih masih pakai kata-kata
kasar di sana sini (tapi nggak diobral banget juga) tapi tema
lagu-lagunya beda dengan rekan-rekannya. Kanye kadang romantis, kadang
humoris, kadang satiristis. Dalam albumnya Late Registration, justru
banyak lirik dan skit yang cerita seolah-olah dia miskin banget. Ini
180% kebalikan dengan rapper-rapper lain yang biasanya akan cerita
tentang perhiasannya, duitnya, cewek-ceweknya, dan mobil-mobilnya (baik
low-rider yang bisa naik-turun pake suspensi hidrolik maupun
mobil-mobilnya yang pake dubs—itu lho pelek bling-bling yang ukurannya
20 inch ke atas.) Ini contoh aktualisasi sense of humor-nya si Kanye.
Terus ada juga sound yang disebut G-funk yang dikenal oleh rapper-rapper
west coast (yaitu di California, AS). G-funk ini banyak dipopulerkan
oleh rapper bernama Warren G. Terus tentu saja kita tahu bahwa mulai ada
rapper-rapper kulit putih yang mencoba nasibnya dalam dunia yang
dikuasai oleh orang berkulit hitam ini. Tersebutlah beberapa nama
seperti Vanilla Ice, Eminem, Linkin Park, Crazy Town, Limp Bizkit dan
lain lain yang menyajikan rap versi mereka masing-masing. Seperti kita
tahu, tingkat kesuksesan mereka-pun berbeda-beda. Namun secara umum
dapat dikatakan bahwa rap oleh orang kulit putih tidak [atau belum?]
sebesar rap oleh, misalnya keturunan hispanic di Amerika. Jika kita
ingat, cerita mengenai lahirnya cikal bakal musik rap di atas, kita akan
ingat bahwa Bronx selain dipadati oleh orang kulit hitam juga dihuni
oleh banyak orang keturunan hispanic. Jadi maklumlah bahwa penggemar
musik rap pada umumnya adalah orang kulit hitam dan keturunan hispanic.
Namun itupun lambat laun berubah. Fenomena yang ada sekarang sering
disebut cross-over, yaitu menyebrangnya orang kulit putih dan etnik
lain-lain menjadi penggemar musik rap. Rap has gone mainstream. Rap
Inc. Advertising Firm? Satu hal yang khas tentang musik rap adalah bahwa
walaupun kita sedang mendengarkan gangsta rap, bisa saja—kalau kita
simak liriknya—kita dibuat senyum di sana-sini. Ini karena dalam lirik
yang temanya keras-pun, dapat kita dengar sesuatu yang lucu—atau paling
tidak—sedikit menggelitik. Rapper memang sering suka menyebut atau
membandingkan sesuatu dengan produk yang kita kenal sehari-hari (misal
jenis kartu kredit, makanan & minuman, merek baju, dan lain-lain)
dengan sentuhan humor. Kadang rapper juga suka nyebut selebritis atau
rapper lain [dan tidak selalu dalam konteks yang menyenangkan mereka].
Eniwei, mengingat bahwa Amerika adalah tempat lahir dan berkembangnya
musik rap dan juga salah satu negara dimana industri marketing dan
advertising-nya sangat maju, banyak orang menuduh bahwa beberapa
perusahaan besar melakukan ”product placement” dalam lagu-lagu rap.
Tuduhan itu wajar, toh dalam dunia filem product placement menjadi
sangat, sangat umum. [Kalau kita nonton filem keluaran Hollywood, dan
lihat jagoannya naik mobil, misal, BMW sambil bicara dengan, misalnya
handphone Sony Ericsson, kemungkinan besar itu adalah product placement
oleh BMW, Sony Ericsson dan Swatch—waktu ngangkat HP sempat keliatan dia
pake jam Swatch Skin]. Seperti dalam dunia filem, perusahaan yang
melakukan product placement dalam industri musik rap akan membayar
rapper untuk menyebut merek produknya dalam lagu rap mereka. Terlepas
dari benar nggaknya tuduhan itu, sulit juga untuk membedakan apakah
waktu si Puffy cerita bahwa dia punya Mercedes yang belum pernah dia
pake dalam salah satu lagunya adalah kemauan si Puffy sendiri ataukah
Benz kasih dia duit? Memang sulit, kadang rapper memang menyebut
merek-merek yang sangat sehari-hari (misal, MTV, KFC, kartu kredit Visa)
dan kadang menyebut merek-merek kelas atas (misal Mercedes Benz, Rolex,
Armani) secara suka rela—tergantung dari cerita lagu itu. Tapi terlepas
dari dibayar atau nggak, kalo penyebutan itu bikin liriknya lebih
deskriptif, lebih nge-flow, atau nge-rhyme, rasanya kita gak usah
terlalu ambil pusing. Ohiya, sebelum selesai bicara tentang product
placement, percaya nggak kalau kata ”Indonesia” juga disebut oleh
beberapa rapper Amerika dalam lirik lagunya? Yang saya tahu adalah
Notorious B.I.G. dan Will Smith. Siapa tahu Departemen Pariwisata
Republik Indonesia menjalin kerjasama dengan kedua rapper itu [yeah,
right!—just imagine the proposal letter: Yth. Bapak Notorious B.I.G.,
dengan ini kami sampaikan proposal…] Eniwei, kembali bicara mengenai
warna dan tema, masih banyak warna-warna lain yang unik yang dibawakan
oleh rapper-rapper lain dan semuanya terus berkembang. Kelak mungkin
kita akan liat warna-warna atau tema-tema yang baru. Seperti jenis musik
lainnya, rap adalah ekspresi jiwa dari manusia-manusia pencipta ataupun
pendengarnya. Keadaan sosial sehari-hari akan sedikit banyak menentukan
tema-tema yang ada. Rap dan alam & budaya Indonesia. Kalau musik
rap di Indonesia gimana? Seperti di berbagai negara lain, musik rap juga
berkembang di Indonesia—walau mungkin tidak dengan amat pesat. Masih
ingat jaman Iwa K masih sering kita dengar di radio-radio? Banyak
bermunculan kelompok-kelompok rap Indonesia yang lirik-liriknya sedikit
banyak cerita kehidupan sehari-hari dan cukup menghibur. Unsur humor
cukup kental juga digunakan dalam lirik-lirik buatan Indonesia dan
memang sepertinya humor itu menjual. Siapa sih yang bakalan nolak
dikasih lirik bahasa Indonesia yang lucu dan gampang diingat dan
dilatari dengan melodi dan beat yang enak? Banyak? Tapi ternyata tidak
banyak banget juga. Lihatlah sekeliling kita? Apa kita banyak lihat
kelompok-kelompok rap lokal apalagi yang tingkat popularitasnya
sebanding dengan kelompok-kelompok lokal pengusung musik pop dan rock?
Di sisi pop dan rock ada Shiela on 7, Nidji, Peterpan, dan seabreg lagi.
[Contohnya gak usah banyak-banyak, toh ini juga bukan product
placement]. Tapi disisi musik rap lokal? Bagai bumi dan langit. Kenapa
ini bisa terjadi? Mungkin jawaban yang sederhana dan agak ngawur [tapi
mungkin juga tidak terlalu ngawur] adalah: karena alam dan budaya
Indonesia menghendakinya demikian. Mungkin alam dan budaya Indonesia
memang tidak cocok untuk musik rap Indonesia? Bisa jadi. Proses
”seleksi dan uji coba”. Indonesia dan orang Indonesia itu sangat
beragam. Background budaya-nya pun beragam. Akibatnya, kita ini
mempunyai budaya yang gampang menyerap seni, budaya, adat istiadat lain.
Dan itu bagus karena budaya kita akan menjadi semakin kaya dan terus
berkembang. Sebagai gambaran, kalau ada jenis musik baru, misalnya rock,
yang muncul di luar sono, maka dengan musik itu akan sampai di
Indonesia juga. Dan dengan tidak kita sadari akan terjadi suatu proses
”seleksi dan uji coba”. Jika dirasakan cocok, maka jenis musik itu akan
tinggal di Indonesia dan melebur dengan gaya dan budaya yang sudah ada
di Indonesia dan jadilah musik rock Indonesia. Seandainya musik rock
itu—setelah melalui “proses seleksi dan uji coba”—ternyata dianggap oleh
mayoritas orang Indonesia kurang cocok, maka musik rock itu pelan-pelan
akan meninggalkan budaya kita dan berada di bawah radar dan indera
budaya kita. Akhirnya musik rock akan dianggap hanya sebagai passing fad
di Indonesia. Tapi tentu saja ini hanya sebuah contoh karena kita tahu
bahwa musik rock telah masuk, melewati proses ”seleksi dan ujicoba”, dan
lulus dengan angka yang sangat memuaskan. Hampir sudah tak terhitungkan
berapa jumlah pemusik rock di Indonesia. Banyak diantara mereka yang
bisa make a pretty darn good life out of it too! Nice try, but come
back next year please. Gimana nasib musik rap? Apakah mereka telah lolos
proses seleksi dan uji coba di Indonesia? Mungkin jawabannya ”tidak”
atau paling-tidak ”belum”. Beberapa tahun lalu musik rap Indonesia
pernah mulai akan merebak, namun ternyata kecepatan rebak-nya tidak
dapat dipertahankan. Dalam konteks musik Indonesia, berapa diantara kita
yang sambil menunggu pintu lift terbuka [kalau pas agak sepi] suka
mensiulkan atau melantunkan tembang Peterpan, Nidji, atau Dewa atau
kelompok lokal lainnya? Berapa diantara kita yang melantunkan
lirik-lirik rap lokal? [***Ding-ding*** pintu lift terbuka, diam, dan
tertutup kembali—tetap tidak ada orang yang melantunkan musik rap
lokal.] But why? Mungkin memang nggak pas untuk kita karena berbagai
alasan: 1). Memang nggak kita banget, 2) Konotasi negatif yang timbul
dari beberapa nukilan berita yang sempat terdengar tentang dunia rap di
Amerika, 3) Sulit untuk nge-rap dalam bahasa Indonesia karena struktur
kata-katanya yang panjang dan 4) Anak-anak yang pengen jadi rapper belum
PD [maksudnya percaya diri, bukan Puff Daddy] untuk bikin lirik dan
nge-rap dalam bahasa Inggris, atau seribu satu alasan tidak jelas
lainnya. Alasan bisa tidak jelas, tapi yang jelas musik rap lokal memang
kurang berkembang di Indonesia. Why make when you can just buy? Kenapa
tadi saya bilang bahwa jawaban dari pertanyaan “Apakah musik rap lolos
dari proses seleksi dan uji coba?” adalah “tidak atau belum”—dan bukan
“tidak” saja? Karena, menurut saya, mungkin saja gelombang musik rap
akan mencoba sekali lagi untuk masuk pintu-pintu telinga dan hati orang
Indonesia dan berharap akan diangkat menjadi sesuatu yang Indonesia.
Dengan semakin banyaknya penyanyi lokal yang lihai bikin dan fasih
nyanyi lagu-lagu dalam bahasa Inggris maka mungkin akan muncul
rapper-rapper yang dari suara, bahasa, dan lingo-nya gak bisa dibeda’in
apakah dia rapper dari Brooklyn atau Blok-M. Too Phat dari Malaysia
adalah salah satu contoh yang cukup lumayan. Kedua anggota duo itu tidak
hanya punya kemampuan mengucapkan kata-kata bahasa Inggris sebagaimana
native speaker bahasa itu, namun juga cukup tahu lingo rap yang musti
digunakan. [Pernah dengar orang yang nggak ngerti komputer nerangin
kerusakan komputer kepada orang IT support? ”Mas, komputer saya
kedip-kedipannya kadang suka hang dan nggak mau pindah walau sudah saya
enter-enter driver-nya. Kena virus ya, Mas?”. Ini sekedar contoh orang
yang using all the wrong lingos]. Mereka—Too Phat, maksudnya—bahkan
dapat kolaborasi dengan rapper Warren G (dari California, AS) untuk
me-rilis-ulang salah satu hits dia beberapa tahun lalu. Dan semua itu
bisa juga terjadi di Indonesia. Bisa iya dan bisa tidak. Tapi, apapun
yang terjadi menurut saya baik. Ada hal-hal tertentu dari luar yang
mudah di adaptasi oleh kita dan dibuat oleh kita dan dikembangkan oleh
kita sehingga mencarinya-pun cukup di lokal—misal pizza, burger, dan
mungkin beberapa jenis pakaian. Namun ada hal-hal lain yang kadang kita
pikir kita lebih enak untuk ambil saja barangnya dari negara pencipta
asalnya—misal branded clothing, beberapa produk elektronik, dan mungkin
saja musik rap? Kita lihat saja.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar